𝐑𝐮𝐬𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐨𝐫𝐚𝐥 𝐩𝐞𝐣𝐚𝐛𝐚𝐭 𝐝𝐢𝐦𝐮𝐥𝐚𝐢 𝐤𝐫𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐇𝐢𝐧𝐝𝐢𝐚 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐧𝐝𝐚

 


Awal keruhnya tatanan sosial masyarakat adat Jawa pada era pendudukan Belanda yaitu, Daendels dengan berani memaksakan kedaulatan Belanda kepada seluruh kerajaan di Jawa, baik itu Surakarta maupun Yogyakarta. Ia menghapus residen dan digantinya dengan minister. Jabatan minister ini merupakan seorang wakil raja Belanda atas kerajaankerajaan tersebut. 


Pada acara pisowanan, minister duduk sejajar dengan sultan hal tersebut amat berbeda saat masih menggunakan sistem residen, seorang residen Belanda duduk lebih rendah daripada sultan. Aturan lainnya adalah apabila sultan dan minister berpapasan di jalan, dia tidak harus turun dari kereta, cukup menyapa lewat jendela. 


Pemaksaan kerajaan-kerajaan Jawa tersebut untuk tunduk penuh atas kedaulatan Belanda membuat para raja menaruh dendam. Sunan Pakubuwono IV dengan berat hati menerima titah Daendels tersebut, tetapi Sultan Hamengkubuwono II menolak. 


Penolakan tersebut menuntut Daendels untuk melakukan pelengseran Sultan Yogya tersebut. Karena kekurangan pasukan, Daendels merekrut 18.000 serdadu pribumi untuk mengepung Keraton Yogyakarta. Pelengseran tersebut juga karena fitnah yang dilakukan oleh Patih Yogyakarta, Danurejo II pada 1810 yang menuduh Sultan dan Pangeran Notokusumo mendukung pemberontakan Raden Ronggo Prawirodirjo, Adipati Madiun yang mengobarkan pemberontakan melawan Belanda.


Diperparah pada saat masa pendudukan Inggris terhadap Jawa setelah Inggris berhasil menundukkan Belanda pada tahun 1811 M, Inggris dibawah kepemimpinan Lord Minto yang saat itu menjadi Gubernur Jenderal Kongsi Hindia Timur Inggris/ English East IndiaCompany, berhasil menundukan Kolonial Belanda-Perancis di Jawa yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal William Janssen


Kolonial Inggris dibawah pemerintahan Thomas Stamford Raffles berkuasa atas Kesultanan Yogyakarta secara de facto selama 5 tahun telah mempengaruhi berbagai kebijakan didalam kesultanan ini. 


Penguasa asing berkuasa secara tidak langsung didalam pemerintahan keraton dan menjadikan kekuasaan sultan tidak lebih sebagai boneka karena kekuatan militer kraton sudah tidak ada lagi. Hal ini perlu diteliti kembali karena belum ada dalam sejarah Jawa khususnya kerajaankerajaan penerus Mataram mengalami hal seperti ini. 


Pasca peristiwa tersebut, Kesultanan Yogyakarta belum bisa stabil dan kuat seperti sebelumnya. Perebutan kekuasaan dan pengaruh di dalam keraton seringkali terjadi dan menimbulkan banyak kekisruhan. Salah satunya adalah wafatnya Sultan Hamengkubuwono III di tahun 1814 dan Hamengkubuwono IV di tahun 1822 dalam usia muda dan tanpa diketahui penyebabnya.


Kestabilan politik di tanah Jawa bagian tengah ini baru bisa terwujud setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa (1825-1830).


Bentuk - bentuk perilaku politis yang kasar dan cenderung negatif dari para pejabat publik pada masa kelam tersebut, secara tidak langsung menjadi contoh yang kemudian diduplikasi oleh para pejabat yang menjadi antek atau struktural penerus kebijakan dari para penguasa saat itu.


Bagaikan induksi magnetik apa saja yang disekelilingnya akan terpapar energi yang sejenis dari sumber energi terkuatnya, kemudian pejabat kecil dan staff perangkat yang diangkat dari masyarakat Jawa perlahan meniru budaya dan perilaku perpolitisan yang dipertontonkan oleh para pembesar hingga turun temurun menjadi kelaziman dan salah kaprah.


Bisa disimpulkan kita yang saat ini adalah imbas dari intrik para pembesar saat itu, yang saling berebut kekuasaan tanpa memikirkan dampak bagi warga masyarakat yang dipimpin.


(𝐃𝐫𝐜)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Tua Wali murid diusir saat wisuda SMAN 1 Wiradesa, Panitia dianggap terlalu arogan!

Kades Wuled Bantah Tuntutan Demo, Tegaskan Tak Ada Pelanggaran

Ruben Klarifikasi, Saim Pun Angkat Bicara!